Sejarah Berdirinya Candi Borobudur
* Kamadhatu, bagian dasar Borobudur,
melambangkan manusia yang masih terikat nafsu.
Contoh Gambar : Kamandhatu/Bagian Dasar Candi BOROBUDUR
*
Rupadhatu, empat tingkat di atasnya, melambangkan manusia yang telah dapat
membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat
tersebut, patung Budha diletakkan terbuka.
Contoh Gambar: Rupadhatu
* Arupadhatu, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang. Melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk.
Contoh gambar: Arupadhatu
* Arupa, bagian paling atas yang melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam
Contoh gambar : Arupa
Setiap tingkatan memiliki
relief-relief yang akan terbaca secara runtut berjalan searah jarum jam (arah
kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu
kisah yang sangat melegenda, bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada
relief-relief tentang wiracarita Ramayana, ada pula relief-relief cerita
jātaka. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat
saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang
kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan
representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta
(Semarang). Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran
sang Budha. Seorang budhis asal India bernama Atisha, pada abad ke 10, pernah
berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4
abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini. Berkat mengunjungi Borobudur dan
berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan
Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara
Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam
naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut “The
Lamp for the Path to Enlightenment” atau yang lebih dikenal dengan nama
Bodhipathapradipa. Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang
Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa
candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa mengatakan Borobudur
awalnya berdiri dikelilingii rawa kemudian terpendam karena letusan Merapi. Hal
tersebut berdasarkan prasasti Kalkutta bertuliskan ‘Amawa’ berarti lautan susu.
Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi, kemungkinan Borobudur
tertimbun lahar dingin Merapi. Desa-desa sekitar Borobudur, seperti Karanganyar
dan Wanurejo terdapat aktivitas warga membuat kerajinan. Selain itu, puncak
watu Kendil merupakan tempat ideal untuk memandang panorama Borobudur dari
atas. Gempa 27 Mei 2006 lalu tidak berdampak sama sekali pada Borobudur
sehingga bangunan candi tersebut masih dapat dikunjungi. Sejarah Candi
Borobudur Sekitar tiga ratus tahun lampau, tempat candi ini berada masih berupa
hutan belukar yang oleh penduduk sekitarnya disebut Redi Borobudur. Untuk pertama
kalinya, nama Borobudur diketahui dari naskah Negarakertagama karya Mpu
Prapanca pada tahun 1365 Masehi, disebutkan tentang biara di Budur. Kemudian
pada Naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710) ada berita tentang Mas Dana, seorang
pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang tertangkap di Redi Borobudur dan
dijatuhi hukuman mati. Kemudian pada tahun 1758, tercetus berita tentang
seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro, yang berminat
melihat arca seorang ksatria yang terkurung dalam sangkar. Pada tahun 1814,
Thomas Stamford Raffles mendapat berita dari bawahannya tentang adanya bukit
yang dipenuhi dengan batu-batu berukir. Berdasarkan berita itu Raffles mengutus
Cornelius, seorang pengagum seni dan sejarah, untuk membersihkan bukit itu.
Setelah dibersihkan selama dua bulan dengan bantuan 200 orang penduduk,
bangunan candi semakin jelas dan pemugaran dilanjutkan pada 1825. Pada 1834,
Residen Kedu membersihkan candi lagi, dan tahun 1842 stupa candi ditinjau untuk
penelitian lebih lanjut. Nama Borobudur Mengenai nama Borobudur sendiri banyak
ahli purbakala yang menafsirkannya, di antaranya Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata
Borobudur berasal dari dua kata Bhoro dan Budur. Bhoro berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti bihara atau asrama, sedangkan kata Budur merujuk pada
kata yang berasal dari Bali Beduhur yang berarti di atas. Pendapat ini
dikuatkan oleh Prof. Dr. WF. Stutterheim yang berpendapat bahwa Borobudur
berarti Bihara di atas sebuah bukit. Prof. JG. De Casparis mendasarkan pada
Prasasti Karang Tengah yang menyebutkan tahun pendirian bangunan ini, yaitu
Tahun Sangkala: rasa sagara kstidhara, atau tahun Caka 746 (824 Masehi), atau
pada masa Wangsa Syailendra yang mengagungkan Dewa Indra. Dalam prasasti
didapatlah nama Bhumisambharabhudhara yang berarti tempat pemujaan para nenek
moyang bagi arwah-arwah leluhurnya. Bagaimana pergeseran kata itu terjadi
menjadi Borobudur? Hal ini terjadi karena faktor pengucapan masyarakat
setempat. Pembangunan Candi Borobudur Candi Borobudur dibuat pada masa Wangsa
Syailendra yang Buddhis di bawah kepemimpinan Raja Samarotthungga. Arsitektur
yang menciptakan candi, berdasarkan tuturan masyarakat bernama Gunadharma.
Pembangunan
candi itu selesai pada tahun 847 M. Menurut prasasti Kulrak (784M) pembuatan
candi ini dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama
Kumaragacya yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama
Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddis Tantra Vajrayana.
Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri
Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samarotthungga, dan oleh cucu
perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani. Sebelum dipugar, Candi Borobudur hanya
berupa reruntuhan seperti halnya artefak-artefak candi yang baru ditemukan.
Gambar Candi Borobudur Sebelum Di
Bugar
Pemugaran selanjutnya oleh Cornelius
pada masa Raffles maupun Residen Hatmann, setelah itu periode selanjutnya
dilakukan pada 1907-1911 oleh Theodorus van Erp yang membangun kembali susunan
bentuk candi dari reruntuhan karena dimakan zaman sampai kepada bentuk
sekarang. Van Erp sebetulnya seorang ahli teknik bangunan Genie Militer dengan
pangkat letnan satu, tetapi kemudian tertarik untuk meneliti dan mempelajari
seluk-beluk Candi Borobudur, mulai falsafahnya sampai kepada ajaran-ajaran yang
dikandungnya. Untuk itu dia mencoba melakukan studi banding selama beberapa
tahun di India. Ia juga pergi ke Sri Langka untuk melihat susunan bangunan
puncak stupa Sanchi di Kandy, sampai akhirnya van Erp menemukan bentuk Candi Borobudur.
Sedangkan mengenai landasan falsafah dan agamanya ditemukan oleh Stutterheim
dan NJ. Krom, yakni tentang ajaran Buddha Dharma dengan aliran
Mahayana-Yogacara dan ada kecenderungan pula bercampur dengan aliran
Tantrayana-Vajrayana. Penelitian terhadap susunan bangunan candi dan falsafah
yang dibawanya tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau
dihubung-hubungkan dengan bangunan-bangunan candi lainnya yang masih satu
rumpun. Seperti halnya antara Candi Borobudur dengan Candi Pawon dan Candi
Mendut yang secara geografis berada pada satu jalur. Materi Candi Borobudur
Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di
Kamboja.
Gambar Candi Borobudur
Gambar Angkor Wat
Luas bangunan Candi Borobudur 15.129
m2 yang tersusun dari 55.000 m3 batu, dari 2 juta potongan batu-batuan. Ukuran
batu rata-rata 25 cm X 10 cm X 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan
500 km dengan berat keseluruhan batu 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi
Borobudur dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu rangkaian
cerita yang terususun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter.
Jika rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief
seluruhnya 3 km. Jumlah tingkat ada sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur
sangkar, sedangkan tingkat 7-10 berbentuk bundar. Arca yang terdapat di seluruh
bangunan candi berjumlah 504 buah. Tinggi candi dari permukaan tanah sampai
ujung stupa induk dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter setelah
tersambar petir. Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria,
Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata
budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan
dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa Indonesia membuat
makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan piramida bersusun,
semakin ke atas semakin kecil. Salah satunya yang ditemukan di Lebak Sibedug
Leuwiliang Bogor Jawa Barat. Bangunan serupa juga terdapat di Candi Sukuh di
dekat Solo, juga Candi Borobudur. Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur
akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah
stupa. Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di
Meksiko Candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida. Piramida
Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan
negara manapun, termasuk di India. Hal tersebut merupakan salah satu kelebihan
Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Budhis di Indonesia.






0 Komentar